Senin, 22 Agustus 2011

Lelaki & Alam Yang Berpuisi

Lelaki itu pernah membaca di sebuah media massa, seseorang -entah siapa ia tak ingat benar- berkata, “Alam berpuisi”.
Katanya, “Bila memandang langit malam yang gelap, ada selarik puisi yang terbentang di sana. Di gunung yang membiru, sawah yang menghijau, lampu-lampu kota yang gemerlapan, sungai, hujan, tembok beton, kakus. Ada puisi yang tersusun kata demi kata, baris demi baris, bait demi bait. Menunggu kita membacanya.”
Lelaki itu lalu pergi ke kakus dan membuang hajat.
Itu mulanya.
Esok harinya ketika bangun di pagi hari dan membuka jendela kamarnya, lelaki itu teringat apa yang dibacanya lagi. Lantas ia pergi ke kakus dan membuang hajat.
Demikian pula esok harinya, esok harinya lagi, dan hari-hari seterusnya.
Lama-lama jadi kebiasaan.
Jika lelaki itu kesulitan buang hajat, ia hanya perlu mengingat kata-kata “Alam berpuisi”, dan segera tubuhnyaakan bereaksi, mendorongnya menuntaskan kegeraman di rongga perutnya ke dalam kakus, membuang hajat.
* * *
Sampai hari ini, ketika lelaki itu duduk di bawah pohon sengon. Berlindung dari terik ramadhan yang membakar, meneduhkan kerongkongannya yang semakin terasa kering setelah dua jam dipaksa mengeluarkan suara-suara sesat yang bisa membangkitkan jenazah dari kuburnya.
Di sela-sela naungan rindang pohon sengon di pelataran parkir gedung para wakil rakyat yang yang terhormat, lelaki itu melihat awan, dan terkesiap ketika menangkap barisan kalimat dalam awan yang berarak putih.
mengerti bahasa
mengapa tak mengerti bahasa manusia?

Dadanya berdegup. Matanya nanar. Napasnya nyaris berhenti.
Lalu otaknya berkata, “Saatnya membuang hajat.”
Dan lelaki itu tergopoh-gopoh menyibak manusia-manusia berjubah panjang, mencari peturasan di lingkungan kantor dewan yang terhormat. Untuk membuang hajat.
* * *
Alam berpuisi.
Dan lelaki itu lebih suka menggunakannya sebagai stimulan.
Untuk membuang hajat.
Sentaby,
DBaonk © Oktober, 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar